Senin, September 24, 2012

Mengembalikan Panggilan Jiwa Seorang Guru


Mengembalikan Panggilan  Jiwa Seorang Guru 
Oleh : Siti Fatimah F05108021 
Menteri Pendidikan BEM FKIP Universitas Tanjungpura Periode 2011/2012 
(Diterbitkan di Buletin Pendidikan (Bulpen) FKIP Untan Edisi Khusus Mei 2012)

Hidup ini adalah pilihan, begitu kata sang bijak berujar. Memang benar adanya, setiap hal yang kita lalui dalam perjalanan panjang kehidupan ini, tentu merupakan sebuah pilihan yang kita ambil dari sekian banyak pilihan yang tersaji di depan mata. Begitu pula pilihan dalam hal studi serta jenjang karir, yang tak bisa dipungkiri merupakan sebuah pilihan yang diambil dengan berbagai pertimbangan matang yang ditinjau dari berbagai aspek, karena pilihan ini akan cukup menentukan dan memberi warna tersendiri pada kehidupan mendatang.
Begitu pula dalam memilih melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tentu beraneka pertimbangan yang menjadi dasar pemikiran seseorang sebelum menetapkan hati untuk memilih jurusan dan program studi tertentu. Jika kita mencoba menengok kebelakang sebentar, ke beberapa tahun silam, saat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan berbagai jurusan dan program studi di dalamnya menjadi satu diantara Fakultas yang sepi peminat dan menjadi pilihan terakhir seorang calon mahasiswa. Ya, kurangnya kesejahteraan guru, minimnya penghargaan terhadap profesi guru yang ditandai dengan rendahnya Upah Minimum Regional (UMR) seorang guru menjadi beberapa penyebabnya.
Namun semua hal tersebut berbalik ketika Undang-Undang Guru dan Dosen telah diatur tersendiri oleh Pemerintah yang menjadikan profesi guru sejajar dengan profesi lainnya serta kesejahteraan guru semakin meningkat dengan adanya program sertifikasi guru. Seketika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan menjadi kampus primadona yang menjadi tujuan utama setiap mahasiswa baru yang akan mendaftar untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Setiap jurusan dan program studi di FKIP menjadi pilihan favorit sehingga persaingan mendapatkan kursi sebagai mahasiswa FKIP semakin berat. Setiap calon mahasiswa harus bersaing ketat dengan ratusan bahkan ribuan calon mahasiswa lainnya  dalam memperebutkan kesempatan menempuh studi di kampus yang akan menelurkan para pendidik ini.
Para guru dan calon guru dinegeri ini sejenak bersuka cita dengan adanya “penghargaan” terhadap profesi guru. Bayangan hidup sejahtera dengan gaji besar mungkin menjadi satu alasan  yang cukup menyilaukan mata untuk memilih profesi ini. Sehingga tak bisa dipungkiri, mungkin saja ada segelintir mahasiswa FKIP yang merupakan calon pendidik bangsa yang memilih profesi ini dengan orientasi materi semata. Harapan setelah kuliah langsung menjadi guru dengan gaji besar mungkin menjadi alasan yang perlu diluruskan kembali.
Menjadi guru tentu bukanlah sekedar  persoalan gaji dan kesejahteraan yang dijanjikan semata. Bukan pula pilihan terakhir saat semua profesi tak mampu digeluti. Tentu juga bukan dengan “terpaksa” menjadi guru hanya agar tidak tidak dikatakan sebagai pengangguran, atau berbagai alasan-alasan keliru lainnya. Motivasi dan tujuan dalam memilih profesi ini harus diresapi dan dimaknai secara tulus, ikhlas, penuh penghayatan, sebagai tanggung jawab moral anak bangsa terhadap negerinya dalam menuntaskan cita-cita luhur pendiri negeri yang tertulis dengan jelas dalam Pembukann UUD’45 serta dibacakan dengan lantang setiap upacara Bendera di senin pagi : “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
Profesi guru adalah panggilan jiwa, kata hati nurani dan seni tersendiri yang begitu indah bagi yang menikmati dan meresapi maknanya . Interaksi antara guru dan siswa merupakan sebuah kisah sarat makna dengan warna warni yang menghiasi di dalamnya. Semua guru atau calon guru tentu harus memaknai profesi ini sebagai panggilan jiwa, sehinga  diharapkan dapat memberikan yang terbaik terhadap setiap proses belajar mengajar yang berlangsung.
Mungkin ada beberapa hal yang cukup membuat hati ini teriris saat sejenak melihat kondisi guru di lapangan. Tak sedikit guru yang masih berada jauh dari kata sejahtera. Masih banyak pendidik negeri ini yang harus memeras keringatnya dengan pekerjaan sambilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena masih rendahnya gaji yang diterima. Ya, hal ini masih berlaku untuk para guru honor yang gajinya masih jauh dari Upah Minimum Regional (UMR). Sedangkan untuk menjadi guru PNS tentu tak semudah membeli obat batuk di pasaran yang tersedia dalam jumlah banyak. Berbagai upaya pemerintah dalam usaha mensejahterakan guru memang patut di apresiasi. Wacana adanya program Pendidikan Profesi Guru juga semoga dapat meningkatkan profesionalisme guru serta pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan guru.
Berbagai fakta dan realita yang bicara seputar kesejahteraan guru yang tak merata, terkadang menimbulkan “pergeseran” niat dan tujuan yang awalnya mulia untuk menjadi bagian dari komunitas pendidik ini, berubah haluan untuk berusaha mencari profesi lain dengan gaji yang lebih tinggi dan berbagai pertimbangan “prestise” lainnya. Seperti yang telah dipaparkan diatas, menjadi guru adalah panggilan jiwa, bukan mengejar sertifikasi semata. Menjadi guru adalah pengabdian, bukan pelarian. Menjadi guru adalah pengukir masa depan bangsa, bukan pilihan terakhir setelah ditolak sana sini.
Semoga semua elemen negeri segera berbenah, karena tanggung jawab untuk memperbaiki wajah pendidikan negeri kita tercinta ini berada di pundak kita masing-masing. Tanggung jawab moral kita sebagai putra-putri terbaik bangsa ini untuk mengembalikan “wibawa” bangsa di mata dunia. Dan guru sebagai garda terdepan pendidikan negeri semoga dapat meresapi peran dan fungsi vitalnya dalam mencetak generasi tangguh, cerdas, bermoral dan senantiasa ingat Tuhan.
Salam mahasiswa!

Tidak ada komentar: