Mengembalikan Panggilan Jiwa Seorang Guru
Oleh : Siti Fatimah F05108021
Menteri Pendidikan BEM FKIP Universitas Tanjungpura Periode 2011/2012
(Diterbitkan di Buletin Pendidikan (Bulpen) FKIP Untan Edisi Khusus Mei 2012)
Hidup
ini adalah pilihan, begitu kata sang bijak berujar. Memang benar adanya, setiap
hal yang kita lalui dalam perjalanan panjang kehidupan ini, tentu merupakan
sebuah pilihan yang kita ambil dari sekian banyak pilihan yang tersaji di depan
mata. Begitu pula pilihan dalam hal studi serta jenjang karir, yang tak bisa
dipungkiri merupakan sebuah pilihan yang diambil dengan berbagai pertimbangan
matang yang ditinjau dari berbagai aspek, karena pilihan ini akan cukup
menentukan dan memberi warna tersendiri pada kehidupan mendatang.
Begitu
pula dalam memilih melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tentu beraneka
pertimbangan yang menjadi dasar pemikiran seseorang sebelum menetapkan hati
untuk memilih jurusan dan program studi tertentu. Jika kita mencoba menengok
kebelakang sebentar, ke beberapa tahun silam, saat Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan dengan berbagai jurusan dan program studi di dalamnya menjadi satu
diantara Fakultas yang sepi peminat dan menjadi pilihan terakhir seorang calon
mahasiswa. Ya, kurangnya kesejahteraan guru, minimnya penghargaan terhadap profesi
guru yang ditandai dengan rendahnya Upah Minimum Regional (UMR) seorang guru
menjadi beberapa penyebabnya.
Namun
semua hal tersebut berbalik ketika Undang-Undang Guru dan Dosen telah diatur
tersendiri oleh Pemerintah yang menjadikan profesi guru sejajar dengan profesi
lainnya serta kesejahteraan guru semakin meningkat dengan adanya program
sertifikasi guru. Seketika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan menjadi kampus
primadona yang menjadi tujuan utama setiap mahasiswa baru yang akan mendaftar untuk
melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Setiap jurusan dan program studi di FKIP
menjadi pilihan favorit sehingga persaingan mendapatkan kursi sebagai mahasiswa
FKIP semakin berat. Setiap calon mahasiswa harus bersaing ketat dengan ratusan
bahkan ribuan calon mahasiswa lainnya
dalam memperebutkan kesempatan menempuh studi di kampus yang akan
menelurkan para pendidik ini.
Para
guru dan calon guru dinegeri ini sejenak bersuka cita dengan adanya
“penghargaan” terhadap profesi guru. Bayangan hidup sejahtera dengan gaji besar
mungkin menjadi satu alasan yang cukup
menyilaukan mata untuk memilih profesi ini. Sehingga tak bisa dipungkiri,
mungkin saja ada segelintir mahasiswa FKIP yang merupakan calon pendidik bangsa
yang memilih profesi ini dengan orientasi materi semata. Harapan setelah kuliah
langsung menjadi guru dengan gaji besar mungkin menjadi alasan yang perlu
diluruskan kembali.
Menjadi
guru tentu bukanlah sekedar persoalan
gaji dan kesejahteraan yang dijanjikan semata. Bukan pula pilihan terakhir saat
semua profesi tak mampu digeluti. Tentu juga bukan dengan “terpaksa” menjadi
guru hanya agar tidak tidak dikatakan sebagai pengangguran, atau berbagai
alasan-alasan keliru lainnya. Motivasi dan tujuan dalam memilih profesi ini
harus diresapi dan dimaknai secara tulus, ikhlas, penuh penghayatan, sebagai
tanggung jawab moral anak bangsa terhadap negerinya dalam menuntaskan cita-cita
luhur pendiri negeri yang tertulis dengan jelas dalam Pembukann UUD’45 serta
dibacakan dengan lantang setiap upacara Bendera di senin pagi : “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa”.
Profesi
guru adalah panggilan jiwa, kata hati nurani dan seni tersendiri yang begitu
indah bagi yang menikmati dan meresapi maknanya . Interaksi antara guru dan
siswa merupakan sebuah kisah sarat makna dengan warna warni yang menghiasi di
dalamnya. Semua guru atau calon guru tentu harus memaknai profesi ini sebagai
panggilan jiwa, sehinga diharapkan dapat
memberikan yang terbaik terhadap setiap proses belajar mengajar yang
berlangsung.
Mungkin
ada beberapa hal yang cukup membuat hati ini teriris saat sejenak melihat
kondisi guru di lapangan. Tak sedikit guru yang masih berada jauh dari kata
sejahtera. Masih banyak pendidik negeri ini yang harus memeras keringatnya
dengan pekerjaan sambilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena masih
rendahnya gaji yang diterima. Ya, hal ini masih berlaku untuk para guru honor
yang gajinya masih jauh dari Upah Minimum Regional (UMR). Sedangkan untuk
menjadi guru PNS tentu tak semudah membeli obat batuk di pasaran yang tersedia
dalam jumlah banyak. Berbagai upaya pemerintah dalam usaha mensejahterakan guru
memang patut di apresiasi. Wacana adanya program Pendidikan Profesi Guru juga
semoga dapat meningkatkan profesionalisme guru serta pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan guru.
Berbagai
fakta dan realita yang bicara seputar kesejahteraan guru yang tak merata,
terkadang menimbulkan “pergeseran” niat dan tujuan yang awalnya mulia untuk
menjadi bagian dari komunitas pendidik ini, berubah haluan untuk berusaha
mencari profesi lain dengan gaji yang lebih tinggi dan berbagai pertimbangan
“prestise” lainnya. Seperti yang telah dipaparkan diatas, menjadi guru adalah panggilan jiwa, bukan mengejar sertifikasi semata.
Menjadi guru adalah pengabdian, bukan pelarian. Menjadi guru adalah pengukir
masa depan bangsa, bukan pilihan terakhir setelah ditolak sana sini.
Semoga
semua elemen negeri segera berbenah, karena tanggung jawab untuk memperbaiki
wajah pendidikan negeri kita tercinta ini berada di pundak kita masing-masing.
Tanggung jawab moral kita sebagai putra-putri terbaik bangsa ini untuk
mengembalikan “wibawa” bangsa di mata dunia. Dan guru sebagai garda terdepan
pendidikan negeri semoga dapat meresapi peran dan fungsi vitalnya dalam
mencetak generasi tangguh, cerdas, bermoral dan senantiasa ingat Tuhan.
Salam mahasiswa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar