Merevisi Mental Meminta Sejak Dini, Memupuk Mental Kerja Keras Sejak Pagi
Oleh Siti Fatimah F05108021
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak
Kemiskinan menjadi sebuah kata sejuta
makna saat ini. Di satu sisi, saat berhadapan dengan berbagai macam bentuk
bantuan dan pemberian, akan banyak orang yang mengaku miskin sekedar untuk
mendapatkan bantuan dan pemberian tersebut. Namun di sisi lain, saat
bersinggungan dengan strata social dan gengsi, akan banyak orang pula yang tak
mau mengaku miskin, demi gengsi semata semua dilakukan agar tak mendapat
predikat miskin. Ya, mungkin itu sekedar asumsi penulis saja, berdasarkan
realita yang diamati, dan dicermati dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada fakta
unik yang cukup menggelitik, yakni bahwa miskin dapat seolah kita bagi lagi
menjadi beberapa bagian: orang yang benar-benar miskin, berkecukupan namun
pura-pura miskin, miskin namun tak jauh beda dengan orang berada. Sebelum kita
urai lebih jauh, ada baiknya kita cermati ulang definisi kemiskinan itu
sendiri. Kemiskinan memiliki beberapa arti antara lain: Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan (Wikipedia). Baiklah, langsung saja kita cermati 3 golongan di atas
(golongan ini saya bagi secara umum saja berdasarkan pengamatan, bacaan dan diskusi ringan penulis dengan
teman-teman). Golongan pertama yakni orang yang benar-benar miskin merupakan
orang miskin yang sebenarnya, yang terdapat hak mereka dalam setiap harta
orang-orang berada (saya menyebut orang berada sebagai kata ganti kaya).
Golongan kedua adalah orang yang sebenarnya masih mampu, dan belum layak
dikatakan miskin jika dilihat masih banyak orang-orang yang jauh berada di
bawahnya tingkat kesejahteraannya, namun orang pada golongan ini mengaku-ngaku miskin demi tujuan tertentu,
misalnya mendapatkan bantuan atau pemberian,yang sebenarnya masih banyak orang
yang jauh lebih berhak menerima bentuan atau pemberian tersebut. Dan golongan
terakhir adalah orang miskin yang tak jauh beda dengan orang berada, yaitu
mereka yang secara kesehatan financial dapat dikatakan miskin, namun bertingkah
dan berpola hidup bak orang kaya atau mungkin melebihi para hartawan, yang
semuanya demi gengsi semata.
Untuk golongan pertama, tentu diperlukan
adanya mental kerja keras untuk dapat merubah penghidupannya, karena bukankah
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang
berusaha merubah nasibnya. Jadi untuk orang-orang yang berada di golongan
pertama, tak perlu berkecil hati karena predikat miskin yang menyelimuti diri hari
ini, karena itu semua adalah ujian
dariNya, dan janganlah menikmati dan pasrah dalam kemiskinan, namun bekerja
keras lah mengubah nasib, penghidupan, penghasilan untuk lebih baik lagi,
karena muslim yang kaya akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berbuat
baik, dan melakukan berbagai amal lainnya. Sehingga mental kerja keras, pantang
menyerah, tekun, dan ulet merupakan mental yang perlu ditanamkan, dipupuk, dan
di rawat dalam setiap jiwa manusia untuk mengentaskan kemiskinan. Tentu bukan
teori dan retorika belaka, namun benar adanya, dengan semua mental tersebut
dibarengi kesungguhan dan tekad bulat untk keluar dari garis kemiskinan itu lah
yang akan membawa kita benar-benar keluar dari zona miskin tersebut.
Setelah
melihat beberapa golongan tersebut, yang tercipta dari fenomena yang terjadi di
masyarakat beberapa tahun terakhir, penulis dapat menyimpulkan bahwa hal-hal
yang berkaitan dengan predikat miskin yang melekat di diri seseorang sangat
terkait dengan “mental” yang ada dalam dirinya. Untuk golongan kedua dan
ketiga, ada mental yang tak seharusnya ada dan harus segera direvisi. Mental
meminta dan mengharap bantuan yang ditemui pada golongan kedua ini cukup
menjamur di berbagai kalangan, baik itu kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan,
pegawai, atau mungkin pejabat. Dia adalah mental meminta, yang membuat
seseorang seolah kecanduan untuk meminta tanpa pernah merasa cukup serta pada
akhirnya membuat mereka enggan memberi. Penyimpangan mental meminta (meminta untuk hal lain saya rasa
diperbolehkan bahkan dianjurkan, misalnya meminta maaf) ini yang dapat
mengganggu pemerataan yang sudah seharusnya berjalan di jalurnya. Seorang
pegawai yang meminta lebih dari gaji yang harusnya diterima, sehingga
menyebabkan dia melakukan beberapa tindak korupsi kecil untuk menambah gajinya.
Dan masih banyak fenomena keliru akibat mental meminta yang seolah begitu
terpatri di sebagian besar penduduk negeri ini, kita spesifikkan di Ibukota
Provinsi Kalimantan Barat ini, Pontianak Kota bersinar. Mental meminta di
kalangan pejabat, sehingga memunculkan istilah meminta uang amplop/pelicin
dalam berbagai proyek. Atau mental meminta yang menghinggapi masyarakat kecil
sehingga membuat mereka turun ke jalan menjadi peminta-minta. Semua itu adalah
dampak dari mental meminta yang secara tidak sadar telah dikembangbiakkan dan
tumbuh subur sejak kecil.
Untuk golongan ketiga inilah orang-orang
yang mengedepankan gengsi tanpa melihat realita dan berkaca dari sejarah
orang-orang terdahulu, bahwa begitu banyak orang yang berjuang demi gengsi
walau tak mampu akhirnya tersungkur pilu karena gengsinya tersebut semakin
menjerumuskannya ke dalam jeratan kemiskinan dan beraneka ragam hutang yang
disebabkan untuk membiayai gengsinya tersebut. Pada akhirnya golongan ketiga
ini hanya akan menambah jumlah komunitas miskin lainnya. Dan lagi-lagi terkait
mental, untuk golongan ketiga ini obatnya tak dapat dipungkiri adalah merevisi
atau bahkan mendelete mental kesombongan dan kesenangan hidup dalam
keberpura-puraan dan kesemuan.
Dari semua paparan di atas, dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk mengatasi kemiskinan pada tiga golongan
tersebut adalah dengan memperbaiki mental masing-masing individu. Dan
kesemuanya itu merupakan peran pendidikan dalam membangun mental seseorang.
Pendidikan disini tidak terbatas pada pendidikan formal di sekolah saja, namun juga
pendidikan di lingkungan keluarga serta pemahaman dan pendalaman agama yang
kuat. Diperlukan peran serta dan kesungguhan semua elemen di dalamnya, baik
orang tua, guru, pendidik, dan masyarakat untuk dapat membentuk mental kerja
keras, dan tidak meminta-minta. Pembentukan mental ini seharusnya sudah
dilakukan sejak dini, sejak anak-anak masih berada dalam usia emasnya. Pada usia dini 0-6 tahun, otak berkembang sangat cepat
hingga 80 persen. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap berbagai macam
informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa yang dimana
perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak akan mulai terbentuk. Karena
itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa-masa emas anak (golden
age). Di masa inilah sebaiknya sudah ditanamkan mental kerja keras
dan tidak meminta-minta, misalnya dengan tidak langsung memberikan semua
keinginan anak dengan mudah dan cuma-cuma, karena hal ini yang membuat sang
anak untuk terbiasa meminta. Namun dengan mengajarkannya untuk berusaha
terlebih dahulu dalam memenuhi keinginannya tersebut.
Sejak kecil juga sebaiknya anak
diajarkan dengan teladan hidup Rasulullah, dalam hal ini untuk tidak
meminta-meminta namun untuk senantiasa tertanam dalam diri anak untuk senantiasa
memberi, sebagaimana hadits Rasulullah :
“Sesungguhnya
meminta-minta itu sama dengan luka-luka yang dengan meminta-minta itu berarti
seseorang melukai mukanya sendiri. Oleh karena itu, siapa
mau silakan menetapkan luka itu pada mukanya, dan siapa mau silakan
meninggalkan, kecuali meminta kepada sultan atau
meminta untuk suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain.” (HR Abu
Daud dan Nasai)
Islam lebih mengajarkan bekerja daripada meminta-minta. Kata Rasulullah,
“Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu
bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan
untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari
seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang
ditolak.” (Mutafaq’alaih)
Mendidik anak di usia dini dengan mental
kerja keras dan malu meminta-minta, serta gemar bersedekah berarti mempersiapkan generasi tunas bangsa
ini menjadi seorang pribadi yang kuat dalam menghadapi esok hari yang keras dan
memiliki sejuta problematika yang tentu berbeda dengan problematika hari ini.
Hasilnya tentu tidak dapat instan kita rasakan hari ini. Butuh waktu dan proses
yang panjang untuk memanen hasilnya. Namun itulah cara yang dikira efektif
mengatasi berbagai problematika, satu diantaranya kemiskinan yang melanda.
Sulit rasanya mengubah generasi atas yang sudah ter setting sekian lama dengan
berbagai mental keliru. Belajar dari pengalaman Negara tetangga kita, yaitu
Singapura yang dalam memabangun bangsanya, pertama-tama mereka membenahi
pendidikan anak usia dini, semisal PAUD dan TK, untuk membangun karakter
anak-anak bangsanya sejak dini. Dan hasilnya bisa kita lihat sekarang bagaimana
mental anak-anak bangsanya dalam membangun negaranya.
Begitu pula untuk mengentaskan
kemiskinan di Pontianak Kota Bersinar ini, Pendidikan merupakan pintu gerbang
untuk mengeluarkan kita dari kemiskinan dan para orang tua serta guru berada
pada garda terdepan pendidikan tersebut. Kita didik generasi-generasi tunas
kita menjadi anak-anak yang berakhlak baik, ulet serta kerja keras, dan kita
tumbuhkan rasa malu untu meminta-minta serta gemar untuk memberi dan bersedekah.
Dengan menghapus keinginan meminta-minta pada diri anak, kemudian kita
tumbuhkan rasa kerja keras maka diharapkan akan didapat generasi-generasi
tangguh di masa mendatang untuk memperbaiki wajah kota bersinar ini. Tidak ada
kata mustahil untuk mengubah kemiskinan ini jika hari ini kita segera berbenah
dan mulai mempraktekkannya, namun akan menjadi mustahil jika kita terus
membiarkan generasi tunas kita terlena oleh didikan keliru. Maka bergeraklah
membuat perubahan dan segera mendidik generasi tunas kita dengan sejuta
karakter baik dan keteladanan ala RasulNya.
Sehingga diharapkan, 20 tahun kemudian sejak hari ini, kita telah
melihat kemiskinan sebagai barang langka yang tak mudah ditemui di jalanan,
sehingga dapat dikatakan kita telah berhasil memusiumkan kemiskinan. Dan semoga
dengan kesungguhan kita hari ini, hari itu pun akan tiba, hari dimana ketika “kemiskinan telah terpajang di museum akibat
kelangkaannya”. Amin .
Pontianak,20 Oktober 2012
fa azzahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar