Selasa, November 20, 2012

Selalu Ada Pelajaran, bahkan di balik sebuah lirik Lagu


Katakan padaku yang sebenarnya kau mau
Agar aku bisa melanjutkan hidupku
Perasaanku mengatakan kan ada pisah
tapi mengapa kau menarik ulur hatiku
Jika kau butuh katakan butuh
jika kau cinta katakan cinta
katakan padaku apa yang harus kubuat
biar kau bahagia dan aku juga bahagia
perasaanku mengatakan kan ada pisah
tapi mengapa kau menarik ulur hatiku
jika kau butuh katakan butuh
jika kau cinta katakan cinta
jika berpisah pisahlah saja
sakit dan perih hanya sementara
aha haau...aha haau...aha haaau...aha haaau...
jika kau butuh katakan butuh
jika kau cinta katakan cinta
jika berpisah pisalah saja
sakit dan perih hanya sementara
katakan padaku yang sebenarnya kau mau
agar aku bisa melanjutkan hidupku
jika kau butuh katakan butuh
jika kau cinta katakan cinta
jika berpisah pisahlah saja
sakit dan perih hanya sementara..
hanya sementara...









oke oke
lagu dewiq di atas seketika bergema
dan baru saya tau bahwa di ponsel sony ericcsson yg udh menemani saya hampir 3 tahun ini trdapat lagu trsebut,,,,
selama 3 tahun saya ga tau d hp saya ada lagu tsb
karena hp selama ini lbh sering hnya brfungsi sekedar utk browsing, menjelajah   dunia


seperti judul di atas
lirik lagu tersebut mnjadi sebuah pelajaran tentang kejujuran
untuk dapat lebih terbuka dengan kata dalam menyikapi segala sesuatu
karena sungguh, prasangka tak pernah dibenarkan oleh Agama

apalagi yaaaa

hemzzz
bisa dikaitkan untuk bnyak hal
intinya
katakan yang sebenarnya saja
meski menyakitkan
perih nya hanya sementara

saya tersentak seketika mendengar lagu tsb
apa iya seperti itu

dan saya telah mempersiapkan diri untuk hal-hal terburuk
termasuk sesuatu yang selalu saya takutkan
sesuatu yang slalu saya doakan untuk tidak akan pernah terjadi

sesuatu yang bernama perpisahan
saya trlalu takut untuk itu
saya selalu berdoa agar itu tak pernah terjadi

tapi jika itu hanya menjadi upaya saya sendiri
sekuat apapun saya berusaha
jika berpisah pisahlah saja

jika itu memang takdir buat saya
biarlah luka itu menganga

setidaknya saya tau sebuah kepastian tanpa bergantungan di udara


#Catatan di atas di tulis dalam keadaan setengah sadar
aaaa
what ever 
saya tau siapa saya
bagaimana hidup saya semestinya
dan saya nyaris lupa betapa berharganya semua
kembali pada jalur seharusnya
kehidupan yang dinanti sang matahari
aaaaaa
Alhamdulillah
sebuah pelajaran berharga setelah terkuras air mata
sebuah cinta nyata
bahwa hanya Dia yang tak pernah meninggalkan
yg telah pasti akan menghampiri hamba Nya
Alhamdulillah


Kamis, November 15, 2012

Opini fa (Dalam Lomba Opini 2012, dan kalahh,,he)

Merevisi Mental Meminta Sejak Dini, Memupuk Mental Kerja Keras Sejak Pagi
 Oleh Siti Fatimah F05108021 
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak 

Kemiskinan menjadi sebuah kata sejuta makna saat ini. Di satu sisi, saat berhadapan dengan berbagai macam bentuk bantuan dan pemberian, akan banyak orang yang mengaku miskin sekedar untuk mendapatkan bantuan dan pemberian tersebut. Namun di sisi lain, saat bersinggungan dengan strata social dan gengsi, akan banyak orang pula yang tak mau mengaku miskin, demi gengsi semata semua dilakukan agar tak mendapat predikat miskin. Ya, mungkin itu sekedar asumsi penulis saja, berdasarkan realita yang diamati, dan dicermati dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada fakta unik yang cukup menggelitik, yakni bahwa miskin dapat seolah kita bagi lagi menjadi beberapa bagian: orang yang benar-benar miskin, berkecukupan namun pura-pura miskin, miskin namun tak jauh beda dengan orang berada. Sebelum kita urai lebih jauh, ada baiknya kita cermati ulang definisi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan memiliki beberapa arti antara lain: Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan (Wikipedia). Baiklah, langsung saja kita cermati 3 golongan di atas (golongan ini saya bagi secara umum saja berdasarkan pengamatan, bacaan  dan diskusi ringan penulis dengan teman-teman). Golongan pertama yakni orang yang benar-benar miskin merupakan orang miskin yang sebenarnya, yang terdapat hak mereka dalam setiap harta orang-orang berada (saya menyebut orang berada sebagai kata ganti kaya). Golongan kedua adalah orang yang sebenarnya masih mampu, dan belum layak dikatakan miskin jika dilihat masih banyak orang-orang yang jauh berada di bawahnya tingkat kesejahteraannya, namun orang pada golongan ini mengaku-ngaku miskin demi tujuan tertentu, misalnya mendapatkan bantuan atau pemberian,yang sebenarnya masih banyak orang yang jauh lebih berhak menerima bentuan atau pemberian tersebut. Dan golongan terakhir adalah orang miskin yang tak jauh beda dengan orang berada, yaitu mereka yang secara kesehatan financial dapat dikatakan miskin, namun bertingkah dan berpola hidup bak orang kaya atau mungkin melebihi para hartawan, yang semuanya demi gengsi semata.
Untuk golongan pertama, tentu diperlukan adanya mental kerja keras untuk dapat merubah penghidupannya, karena bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang berusaha merubah nasibnya. Jadi untuk orang-orang yang berada di golongan pertama, tak perlu berkecil hati karena predikat miskin yang menyelimuti diri hari ini, karena itu semua  adalah ujian dariNya, dan janganlah menikmati dan pasrah dalam kemiskinan, namun bekerja keras lah mengubah nasib, penghidupan, penghasilan untuk lebih baik lagi, karena muslim yang kaya akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berbuat baik, dan melakukan berbagai amal lainnya. Sehingga mental kerja keras, pantang menyerah, tekun, dan ulet merupakan mental yang perlu ditanamkan, dipupuk, dan di rawat dalam setiap jiwa manusia untuk mengentaskan kemiskinan. Tentu bukan teori dan retorika belaka, namun benar adanya, dengan semua mental tersebut dibarengi kesungguhan dan tekad bulat untk keluar dari garis kemiskinan itu lah yang akan membawa kita benar-benar keluar dari zona miskin tersebut.
 Setelah melihat beberapa golongan tersebut, yang tercipta dari fenomena yang terjadi di masyarakat beberapa tahun terakhir, penulis dapat menyimpulkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan predikat miskin yang melekat di diri seseorang sangat terkait dengan “mental” yang ada dalam dirinya. Untuk golongan kedua dan ketiga, ada mental yang tak seharusnya ada dan harus segera direvisi. Mental meminta dan mengharap bantuan yang ditemui pada golongan kedua ini cukup menjamur di berbagai kalangan, baik itu kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan, pegawai, atau mungkin pejabat. Dia adalah mental meminta, yang membuat seseorang seolah kecanduan untuk meminta tanpa pernah merasa cukup serta pada akhirnya membuat mereka enggan memberi. Penyimpangan mental meminta (meminta untuk hal lain saya rasa diperbolehkan bahkan dianjurkan, misalnya meminta maaf) ini yang dapat mengganggu pemerataan yang sudah seharusnya berjalan di jalurnya. Seorang pegawai yang meminta lebih dari gaji yang harusnya diterima, sehingga menyebabkan dia melakukan beberapa tindak korupsi kecil untuk menambah gajinya. Dan masih banyak fenomena keliru akibat mental meminta yang seolah begitu terpatri di sebagian besar penduduk negeri ini, kita spesifikkan di Ibukota Provinsi Kalimantan Barat ini, Pontianak Kota bersinar. Mental meminta di kalangan pejabat, sehingga memunculkan istilah meminta uang amplop/pelicin dalam berbagai proyek. Atau mental meminta yang menghinggapi masyarakat kecil sehingga membuat mereka turun ke jalan menjadi peminta-minta. Semua itu adalah dampak dari mental meminta yang secara tidak sadar telah dikembangbiakkan dan tumbuh subur sejak kecil.
Untuk golongan ketiga inilah orang-orang yang mengedepankan gengsi tanpa melihat realita dan berkaca dari sejarah orang-orang terdahulu, bahwa begitu banyak orang yang berjuang demi gengsi walau tak mampu akhirnya tersungkur pilu karena gengsinya tersebut semakin menjerumuskannya ke dalam jeratan kemiskinan dan beraneka ragam hutang yang disebabkan untuk membiayai gengsinya tersebut. Pada akhirnya golongan ketiga ini hanya akan menambah jumlah komunitas miskin lainnya. Dan lagi-lagi terkait mental, untuk golongan ketiga ini obatnya tak dapat dipungkiri adalah merevisi atau bahkan mendelete mental kesombongan dan kesenangan hidup dalam keberpura-puraan dan kesemuan.
Dari semua paparan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk mengatasi kemiskinan pada tiga golongan tersebut adalah dengan memperbaiki mental masing-masing individu. Dan kesemuanya itu merupakan peran pendidikan dalam membangun mental seseorang. Pendidikan disini tidak terbatas pada pendidikan formal di sekolah saja, namun juga pendidikan di lingkungan keluarga serta pemahaman dan pendalaman agama yang kuat. Diperlukan peran serta dan kesungguhan semua elemen di dalamnya, baik orang tua, guru, pendidik, dan masyarakat untuk dapat membentuk mental kerja keras, dan tidak meminta-minta. Pembentukan mental ini seharusnya sudah dilakukan sejak dini, sejak anak-anak masih berada dalam usia emasnya. Pada usia dini 0-6 tahun, otak berkembang sangat cepat hingga 80 persen. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa yang dimana perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak akan mulai terbentuk. Karena itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa-masa emas anak (golden age). Di masa inilah sebaiknya sudah ditanamkan mental kerja keras dan tidak meminta-minta, misalnya dengan tidak langsung memberikan semua keinginan anak dengan mudah dan cuma-cuma, karena hal ini yang membuat sang anak untuk terbiasa meminta. Namun dengan mengajarkannya untuk berusaha terlebih dahulu dalam memenuhi keinginannya tersebut.
Sejak kecil juga sebaiknya anak diajarkan dengan teladan hidup Rasulullah, dalam hal ini untuk tidak meminta-meminta namun untuk senantiasa tertanam dalam diri anak untuk senantiasa memberi, sebagaimana hadits Rasulullah :
“Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka yang dengan meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri. Oleh karena itu, siapa mau silakan menetapkan luka itu pada mukanya, dan siapa mau silakan meninggalkan, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain.” (HR Abu Daud dan Nasai)
Islam lebih mengajarkan bekerja daripada meminta-minta. Kata Rasulullah, “Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak.” (Mutafaq’alaih)
Mendidik anak di usia dini dengan mental kerja keras dan malu meminta-minta, serta gemar bersedekah  berarti mempersiapkan generasi tunas bangsa ini menjadi seorang pribadi yang kuat dalam menghadapi esok hari yang keras dan memiliki sejuta problematika yang tentu berbeda dengan problematika hari ini. Hasilnya tentu tidak dapat instan kita rasakan hari ini. Butuh waktu dan proses yang panjang untuk memanen hasilnya. Namun itulah cara yang dikira efektif mengatasi berbagai problematika, satu diantaranya kemiskinan yang melanda. Sulit rasanya mengubah generasi atas yang sudah ter setting sekian lama dengan berbagai mental keliru. Belajar dari pengalaman Negara tetangga kita, yaitu Singapura yang dalam memabangun bangsanya, pertama-tama mereka membenahi pendidikan anak usia dini, semisal PAUD dan TK, untuk membangun karakter anak-anak bangsanya sejak dini. Dan hasilnya bisa kita lihat sekarang bagaimana mental anak-anak bangsanya dalam membangun negaranya.
Begitu pula untuk mengentaskan kemiskinan di Pontianak Kota Bersinar ini, Pendidikan merupakan pintu gerbang untuk mengeluarkan kita dari kemiskinan dan para orang tua serta guru berada pada garda terdepan pendidikan tersebut. Kita didik generasi-generasi tunas kita menjadi anak-anak yang berakhlak baik, ulet serta kerja keras, dan kita tumbuhkan rasa malu untu meminta-minta serta gemar untuk memberi dan bersedekah. Dengan menghapus keinginan meminta-minta pada diri anak, kemudian kita tumbuhkan rasa kerja keras maka diharapkan akan didapat generasi-generasi tangguh di masa mendatang untuk memperbaiki wajah kota bersinar ini. Tidak ada kata mustahil untuk mengubah kemiskinan ini jika hari ini kita segera berbenah dan mulai mempraktekkannya, namun akan menjadi mustahil jika kita terus membiarkan generasi tunas kita terlena oleh didikan keliru. Maka bergeraklah membuat perubahan dan segera mendidik generasi tunas kita dengan sejuta karakter baik dan keteladanan ala RasulNya.  Sehingga diharapkan, 20 tahun kemudian sejak hari ini, kita telah melihat kemiskinan sebagai barang langka yang tak mudah ditemui di jalanan, sehingga dapat dikatakan kita telah berhasil memusiumkan kemiskinan. Dan semoga dengan kesungguhan kita hari ini, hari itu pun akan tiba, hari dimana ketika “kemiskinan telah terpajang di museum akibat kelangkaannya”. Amin .




Pontianak,20 Oktober 2012
 fa  azzahra